KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunianya, sehingga penulis bias menyelesaikan tugas
“BOOK REPORT” ini. Dalam penyusunannya mungkin tugas “BOOK REPORT” ini sangat
jauh sekali dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat berharap saran
dan kritik yang sifatnya membangun sebagai bahan perbaikan bagi penulis di masa
yang akan datang.
Dalam kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan banyak
terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas
ini. Mudah-mudahan tugas “BOOK REPORT” yang penulis buat dapat bermanfaat bagi
para pembacanya.
Bandung, Juni 2009
Penuli
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………...............…
i
DAFTAR ISI .………………............................…….....................………
ii
Identitas Buku …………………………….............………………….……
1
Bab 1 Masalah SDM ………………......................………………………….............…
1
Bab 2 Pengertian SDM………...…………………………………………........................1
Bab 3 Perencanaan SDM……………………………................………………...........….2
Bab 4 Pengadaan SDM………....……………………………………………..............…
2
Bab 5 Pengembangan
SDM.........………………………………………...…………….. 3
Bab 6 Kompensasi………………………………………..............................................…3
Bab 7 Pengintegrasian SDM……………..........………………………………...............
4
Bab 8 Perawatan SDM.....……………………………………………………...........…. 4
Bab 9 Pemutusan hubungan kerja……………………..............………………........……5
Bab 10 Penyandang cacat dan pekerjaan…………….................…………….........…….5
Keunggulan dan kelemahan buku...........………………………………………......…
15
Saran.....................................................…………………………………………….......16
ii
BOOK REPORT
Identitas Buku
Judul buku :
Manajemen Sumber Daya Manusia
Pengarang :
Komaruddin Sastradipoera
Penerbit :
Kappa Sigma Bandung
Karyawan adalah asset yang mempunyai andil terbesar terhadap
kemampuan organisasi atau perusahaan. Penanganan yang tidak tepat oleh
manajemen akan menghambat pencapaian tujuan organisasi/perusahaan. Manajemen
Sumber Daya Manusia (MSDM) sebagai suatu bidang studi yang khusus mempelajari
peranan dan hubungan manusia dalam mencapai tujuan organisasi/perusahaan terus
dikembangkan hingga sekarang.
Komaruddin Sastradipoera
Bab 1 menjelaskan tentang Masalah SDM yang terdiri dari definisi
manajemen, dasar-dasar manajemen, bidang dan pendidikan manajemen, system dan
tipe-tipe manajemen, dan organisasi. Yang pada intinya masalah SDM itu mencakup
tentang apa yang diatur, apa tujuannya diatur, mengapa harus diatur, siapa yang
mengatur, dan bagaimana mengaturnya. Tentu saja selain itu juga karena adanya
perubahan paradigma anatara manajemen personalia yang menganggap bahwa manusia
merupakan factor produksi yang bisa dieksploitasi kemampuannya untuk bekerja,
sehingga muncullah MSDM yang menganggap manusia adalah asset atau kekayaan.
Bab 2 menjelaskan tentang Pengerian SDM, pengertian SDM itu
sendiri adalah kemampuan terpadu dari daya piker dan daya fisik yang dimiliki
individu. Pada bab ini banyak membahas tentang pentingnya MSDM, definisi MSDM
yang berarti ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar
efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan. Seorang menejer
dalam memimpin para bawahannya harus mampu memberikan dorongan agar para
karyawannya mau bekerja sama dan bekerja efektif. Kemam[puan dan kecakapan akan
kurang berartim jika tidak diikuti moral kerja dan kedislipinan karyawan dalam
mewujudkan tujuan. MSDM itu akan terus berkembang sesuai dengan kemajuan
peradaban, teknologi dan perundang-undangan Negara-negara di dunia. Oleh karena
itu, diperlukannya pendekatan-pendekatan untuk mempelajari MSDM. MSDM juga
mempunyai fungsi-fungsi yang meliputi perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, pengendalian, pengadaan, pengembangan, kompensasi, pengintegrasian,
pemeliharaan, kedislipinan dan pemberhentian.
Bab 3 menjelaskan tentang Perencanan SDM, karena adanya
ketidakpastian tujuan dalam suatu perusahaan/organisasi maka diperlukan
perencanaan SDM untuk menetapkan program pengorganisasian, pengarahan,
pengendalian, pengadaan, pengembangan, kompensasi, pengintegrasian,
pemeliharaan, kedislipinan, dan pemberhentian karyawan. Jadi, dalam rencana SDM
harus ditetapkan semua hal tersebut di atas secara baik dan benar. Serta
dibutuhkan juga metode, informasi, dan peramalan perencanaan SDM. Dalam
merencanakan SDM dibutuhkan prosedur dan rencana SDM merupakan tindak lanjut
dari realisasi perencanaan-perencanaan yang telah dilakukan untuk mengetahui
apakah para karyawan bekerja dengan baik dan berperilakuan sesuai rencana.
Bab 4 menjelaskan tentang Pengadaan SDM, pengadaan SDM
adalah proses penarikan, seleksi, penempatan, orientasi dan induksi untuk
mendapatkan karyawan yang efektif dan efisien membantu tercapainya tujuan
perusahaan. Dalam proses penempatan diperlukan analisis pekerjaan yang akan menganalisa dan mendesain
pekerjaan apa saja yang harus dikerjakan. Uraian pekerjaan disusun bedasarkan
informasi yang telah dihasilkan oleh analisis pekerjaan, uraian pekerjaan
menjadi dasar untuk menetapkan spesifikasi pekerjaan. Berat atau ringannya
suatu pekerjaan dapat diketahui melalui evaluasi pekerjaan. Penyederhanaan
pekerjaan terjadi karena spesialisasi yang lebih mendetail diterapkan dalam
perusahaan tersebut, makanya diperlukan pengayaan pekerjaan untuk memberikan
variasi yang lebih besar kepada seorang karyawan. Prose rekuitmen/penarikan
karyawan dilakukan untuk menyeleksi para pelamar yang kompeten dan kapabel yang
memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Bab 5 menjelaskan tentang Pengembangan SDM, program
pengembangan karyawan hendaknya disusun secara cermat dan didasarkan kepada
metode-metode ilmiah serta berpedoman pada keterampilan yang dibutuhkan
perusahaan sasat ini untuk masa depan. Pengembangan karyawan perlu dilakukan
setiap perusahaan karena akan memberikan manfaat bagi perusahaan, karyawan, dan
masyarakat konsumen. Pelaksanaan pengembangan harus dilaksanakan pada
metode-metode yang telah ditetapkan dalam program pengembangan perusahaan.
Penilaian prestasi karyawan merupakan evaluasi terhadap perilaku, prestasi kerja,
dan potensi pemgembangan yang telah dilakukan. Kemudian indeks prestasi harus
menjadi dasar unutk menetapkan kebijaksanaan selanjutnya bagi karyawan
bersangkutan apakah ia diipndahkan, dipromosikan, demosi, ataupun
diberhentikan.
Bab 6 menjelaskan tentang kompensasi, tujuan pemberian balas
jasa (kompensasi) hendaknay memberikan kepuasan kepada semua pihak, karyawan
dapat memenuhi semua kebutuhannya, pengusaha mendapat laba, peraturan
pemerintah harus ditaati dan konsumen mendapat barang yang baik dan barang yang
pantas. Semua pihak mendapatkan kepuasan dari system pengupahan yang
diterapkan, dan susunan kompensasi hendaknya disusun dengan unsur-unsur yang
terdiri dari kompensasi langsung. Banyak factor yang dapat mempengaruhi
besar/kecilnya tingkat upah/kompensasi. Hal ini perlu mendapat perhatian supaya
prinsip pengupahan adil dan layak lebih baik dan kepuasan kerja sama tercapai.
Bab 7 menjelaskan tentang Pengintegrasian SDM yang sangat
penting dan merupakan satu kunci untuk mencapai hasil yang baik bagi perusahaan
maupun terhadap karyawan sehingga memberikan kepuasan kepada semua pihak.
Tujuan pengintegrasian yaitu memanfaatkan karyawan agar mau bersedia bekerja
keras dan berpartisipasi aktif dalam menunjang tercapainya tujuan perusahaan
serta terpenuhiya kebutuhan karyawan. Hubungan antarmanusia (human relation)
akan tercipta serta terpelihara dengan baik, jika ada kesediaan melebur
sebagian keinginan individu demi tercapainya kepentingan bersama. Asas motivasi
yang diterapkan harus dapat meningkatkan
produktivitas kerja dan memberikan kepuasan kepada karyawan. Dalam
memotivasi para karyawannya, menejer hendaknya menyediakan peralatan,
menciptakan suasana pekerjaan yang baik, dan memberikan kesempatan untuk promosi.
Dengan demikian, memungkinkan para bawahan menigkatkan semangat kerjanya.
Menurut teori kepuasan (Content Theories), semakin ada kesempatan untuk
memperoleh kepuasan dari hasil kerjanya, semakin bergairah seseorang untuk
bekerja dengan mengerahkan semua kemampuan yang dimilikinya. Untuk menciptakan
dan membina integrasi yang baik dalam perusahan dapat diusahakan dengan human
relation, motivasi, kepemimpinan, kesepakatan kerja bersama (KKB) dan
collective bargaining melalui peranan komunikasi dua arah.
Bab 8 menjelaskan tentang Perawatan/pemeliharaan SDM, adalah
usaha mempertahankan dan atau meningkatkan kondisi fisik, mental dan sikap
karyawan, agar mereka tetap loyal dan bekerja produktif untuk menujang
tercapainya tujuan perusahaan. Dengan pemberian insentif yang adil, layak dan
saatnya yang tepat, serta diberikan secara terbuka akan menciptakan
pemeliharaan yang baik. Dengan demikian, sikap, loyal karyawan semakin baik,
gairah bekerja meningkat, absensi, turnover karyawan menurun.. Untuk mewujudkan
pemeliharaan karyawan yang baik dilakukan dengan metode-metode komunikasi,
insentif, kesejahteraan, KKK, dan HIP yang sesuai dan harmonis, agar tujuan
optimal perusahan, karyawan, dan masyarakat tercapai.
Bab 9 menjelaskan tentang Pemutusan Hubungan
Kerja/pemberhentian, fungsi pemberhentian harus mendapat perhatian yang serius
dari menejer perusahaan, karena telah diatur oleh undang-undang dan memberikan
risiko bagi perusahan maupun untuk karyawan bersangkutan. Alasan-alasan
pemberhentian :
- Undang-undang
- Keinginan
perusahan
- Keinginan
Karyawan
- Pensiun
- Kontrak
kerja berakhir
- Kesehatan
karyawan
- Meninggal
dunia
- Perusahaan
dilikuidasi
Pemberhentian dapat dilaksanakan atas keinginan sendiri ,
turn over karyawan atas menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Jika banyak
karyawan berhenti atas keinginan sendiri berarti manajemen perusahan kurang
baik. Jadi, menejer organisasi perusahaan harus instrospeksi.
Bab 10, Penyandang Cacat dan Pekerjaan Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) penyandang cacat Indonesia mendesak kepada semua perusahaan yang
beroperasi di Indonesia untuk melaksanakan kewajiban kuota tenaga kerja
penyandang cacat. Adapun kuota yang dimaksudkan adalah seperti yang tercantum
dalam Surat Edaran Menakertrans No. 01.KP.01.15/2002 tentang penempatan tenaga
kerja penyandang cacat yang mengatakan bahwa setiap perusahaan yang memiliki
jumlah karyawan 100 orang atau lebih, wajib mempekerjakan 1 (satu) orang
penyandang cacat yang memenuhi persyaratan jabatan atau kualifikasi pekerjaan
atau kurang dari 100 orang jika perusahaan tersebut menggunakan teknologi
tinggi.
Kenyataan di atas paling tidak menggambarkan bagaimana
kondisi yang dialami oleh para penyandang cacat di Indonesia. Dalam gegap
gempitanya kehidupan dunia bisnis seringkali para penyandang cacat tidak
mendapatkan perhatian yang cukup bahkan cenderung terlupakan. Meskipun
pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang tentang Penyandang Cacat yang
mengatur kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat untuk memperoleh pekerjaan,
namun pelaksanaannya masih jauh dari yang diharapkan. Dari sekitar 20 juta
penyandang cacat yang ada di Indonesia, 80% tidak memiliki pekerjaan. Dengan
kondisi demikian artinya para penyandang tersebut terpaksa harus menggantungkan
hidupnya dari bantuan keluarga atau pun institusi tertentu, yang secara tidak
langsung juga akan mempengaruhi produktivitas kerja secara nasional.
Mengapa begitu sulit bagi para penyandang cacat untuk
bersaing dalam bursa tenaga kerja sekalipun sudah ada kuota yang tersedia? Jika
memang harus bersaing dengan para pekerja biasa (tidak cacat) hal-hal apa saja
yang harus dilakukan oleh para penyandang cacat untuk dapat menunjukkan bahwa
mereka memiliki kualifikasi yang tepat untuk pekerjaan yang diinginkan? Dalam
artikel ini penulis mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Dalam artikel ini maka yang dimaksud penyandang cacat adalah semua individu
yang mengalami cacat fisik maupun mental namun memiliki pengetahuan, kemampuan
dan ketrampilan yang dibutuhkan oleh suatu jabatan/pekerjaan serta dapat
menjalin hubungan sosial dengan orang lain di sekitarnya secara efektif.
Undang-Undang. Di
setiap negara, baik negara maju maupun negara miskin, selalu ada individu yang
memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu yang dalam istilah umum sehari-hari
disebut sebagai penyandang cacat. Demi menjaga hak-hak dan kewajiban para
penyandang cacat maka pemerintah di setiap negara melindungi para penyandang
cacat tersebut dengan perangkat hukum berupa peraturan pemerintah maupun
undang-undang.
Perangkat hukum di Indonesia yang mengatur tentang
kesempatan kerja bagi penyandang cacat sebenarnya sudah cukup memadai. Hal ini
terbukti dengan adanya UU RI No. 4 Tahun
1997 tentang Penyandang Cacat, yang dalam beberapa pasal juga mengatur tentang
kesamaan dan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan (Pasal 13 &14) lengkap
dengan sanksi pidana dan administratif (Pasal 28 & 29). Surat Edaran
Menakertrans No. 01.KP.01.15/2002 yang berisi tentang kuota pekerja penyandang
cacat juga merupakan langkah nyata usaha pemerintah untuk melindungi para
penyandang cacat.
Menyikapi hal tersebut, tak dapat dipungkiri memang ada
beberapa perusahaan atau lembaga yang memberikan tanggapan positif dengan
segera melaksanakan aturan tersebut, namun sebagian lagi nampaknya tetap
"cuek". Apalagi di tengah-tengah meningkatnya jumlah pengangguran
akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sekarang ini, maka semakin sempit
pula ruang bagi para pekerja penyandang cacat untuk mendapatkan pekerjaan.
Sikap. Mengapa banyak penyandang cacat yang gagal memperoleh
pekerjaan meski sudah diatur sedemikian rupa dalam perangkat perundang-undangan
yang berlaku di suatu negara. Jawabannya tidak lain adalah bermula dari sikap
si penyedia pekerjaan atau perusahaan/organisasi. Tak dapat dipungkiri bahwa
dalam dunia usaha/kerja sikaplah yang mendasari berbagai perilaku kerja. Dalam
kenyataan, sekarang ini masih banyak orang yang menganggap atau memberi stigma
bahwa para penyandang cacat tidak memiliki kualifikasi yang cukup untuk
memegang suatu jabatan, lebih banyak merepotkan dan menambah pengeluaran
perusahaan (karena harus menyediakan akomodasi atau fasilitas khusus) jika
dibandingkan dengan pekerja yang tidak cacat. Hal-hal inilah yang seringkali
membuat para pelamar yang kebetulan penyandang cacat gagal diterima bekerja
bahkan sebelum mereka sempat menunjukkan kualifikasinya (cth: lamaran tidak
ditanggapi, tidak dipanggil untuk test atau wawancara padahal sudah memenuhi
ketentuan persyaratan jabatan). Mereka kalah bersaing dengan rekan yang tidak
cacat meskipun secara akademis sang penyandang cacat ternyata lebih unggul dari
rekan tersebut.
Beberapa pandangan atau sikap yang ada dalam perusahaan atau
si pemberi pekerjaan terhadap penyandang cacat mungkin ada yang benar namun
sebagian besar mungkin hanya didasarkan pada mitos atau stigma yang cenderung
memojokkan para penyandang cacat. Untuk itu kita perlu membandingkan antara
mitos dengan fakta, sebagai berikut:
Mitos & Fakta tentang Pekerja Penyandang Cacat
Pekerja penyandang cacat lebih sering absen dibandingkan
dengan pekerja tidak cacat sehingga bisa mempengaruhi iklim kerja dalam
perusahaan.
Hasil study yang dilakukan di DuPont Corporation menunjukkan
bahwa tingkat kehadiran para pekerja penyandang cacat rata-rata 85% atau lebih.
Survey lainnya yang dilakukan di perusahaan telepon dan telegraph dengan jumlah
karyawan sekitar 2.000 pekerja menunjukkan bahwa para pekerja penyandang cacat
lebih kecil tingkat absensinya dibandingkan rekan mereka yang tidak cacat
(monster.com). Artinya adalah bahwa para pekerja penyandang cacat tidaklah
lebih sering absen dibandingkan pekerja tidak cacat.
Para pekerja penyandang cacat membutuhkan waktu yang lama
untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan. Untuk melatih mereka dibutuhkan waktu
lama dan biaya yang tinggi.
Setiap pekerja, baik penyandang cacat maupun tidak, akan
membutuhkan waktu yang berbeda satu sama lain dalam menyesuaikan diri dengan
pekerjaan dan tanggungjawab baru. Penyandang cacat (asalkan direkrut dengan cara
yang benar) tidak membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan pekerja tidak
cacat untuk mempelajari suatu tugas tertentu.Mempekerjakan penyandang cacat
berarti harus menyediakan fasilitas khusus agar dapat membuat mereka mampu
bekerja optimal.
Tidak harus. Para penyandang cacat biasanya mampu
menyediakan fasilitas, seperti transportasi atau akomodasi lainnya untuk diri
mereka sendiri.
Pekerja penyandang cacat sulit disupervisi, Kemampuan
supervisi sangatlah tergantung pada kemampuan sang supervisor sendiri.
Supervisor yang mampu mensupervisi para pekerja tidak cacat akan mampu juga
mensupervisi para pekerja penyandang cacat. Kinerja pekerja penyandang cacat
tidak sebaik pekerja tidak cacat
Hasil penelitian di DuPont Corporation menunjukkan bahwa
hampir 90% pekerja penyandang cacat mendapatkan predikat "good" atau
"excellenct" dalam evaluasi kinerja dari para manajer mereka. Para
manajer juga merasa bahwa pekerja penyandang cacat melakukan pekerjaan mereka
sama baiknya dengan para pekerja tidak cacat.
Merekrut penyandang cacat berarti memperbesar biaya medical
insurance. Setiap perusahaan tentu memiliki standard tersendiri untuk medical
insurance. Medical insurance seharusnya tidak didasarkan pada apakah pekerja
merupakan penyandang cacat atau bukan. Kriteria yang digunakan untuk menentukan
hal tersebut seharusnya adalah apakah lingkungan kerja penuh dengan risiko
kecelakaan atau hal-hal yang dapat membahayakan jiwa. Selain itu, penyandang cacat
tidaklah selalu indentik dengan kunjungan ke dokter dan rumah sakit. Oleh sebab
itu tidaklah beralasan jika perusahaan menetapkan standard penentuan medical
insurance yang berbeda antara pekerja tidak cacat dengan rekan mereka para
pekerja penyandang cacat.
Sangatlah sulit menetapkan rentangan gaji yang
"fair" untuk pekerja penyandang cacat Penetapan gaji atau pun
kompensasi yang diterima pekerja adalah didasarkan pada kinerja dan
produktivitas pekerja tersebut. Hal inipun harus diberlakukan sama bagi pekerja
penyandang cacat. Tidak ada yang bisa
dilakukan jika ternyata pekerja penyandang cacat yang direkrut tidak dapat
memberikan kontribusi bagi perusahaan. Dengan kata lain perusahaan tidak bisa
memecat pekerja penyandang cacat yang tidak produktif
Pada dasarnya setiap orang, baik cacat maupun normal, ingin
dihargai atas hasil karya yang diberikannya. Tidak ada yang ingin terus-menerus
hidup menjadi "benalu" bagi perusahaan. Para pekerja penyandang cacat
tentu tidak ingin memperoleh pekerjaan
hanya semata-mata karena rasa belas kasihan dari si pemberi pekerjaan
tersebut (perusahaan). Oleh sebab itu perusahaan tidak harus membuat kemudahan
atau pun dispensasi khusus bagi mereka. Mereka harus memenuhi kriteria jabatan
yang dibutuhkan dan mau menjalankan disiplin yang ditetapkan perusahaan sama
seperti pekerja lain yang tidak cacat. Jika memang mereka tidak dapat
menjalankan tugas/pekerjaan sebagaimana mestinya atau melanggar disiplin maka
mereka juga harus diberikan bimbingan, pelatihanan atau teguran dan hukuman,
bahkan jika perlu mereka bisa saja di PHK sama seperti semua pekerja lain yang
ada dalam perusahaan.
Makna Suatu Pekerjaan
Diantara para pembaca mungkin ada yang bertanya-tanya;
mengapa masalah pekerjaan begitu penting bagi para penyandang cacat? Bukankah
sudah menjadi kewajiban dari anggota keluarga untuk menanggung semua biaya dan
kebutuhan mereka? Pertanyaan seperti itu sangatlah beralasan mengingat bahwa
tidak sedikit dari para penyandang cacat juga berasal dari keluarga yang
berkecukupan secara finansial sehingga si penyandang cacat hidup cukup
terjamin.
Kebutuhan
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut maka kita
harus melihat bahwa kebutuhan individu (baik yang cacat maupun tidak cacat)
tidak hanya bersifat fisik, namun lebih jauh dari itu. Abraham Maslow, seorang
pakar aliran Humanisme, membagi kebutuhan manusia menjadi 5 bagian yang
menurutnya merupakan suatu hirarki dari yang paling rendah (kebutuhan
fisiologis dasar) sampai ke paling tinggi (kebutuhan aktualisasi diri).
Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow
Kebutuhan untuk aktualisasi diri
Kebutuhan untuk dihargai
Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi
Kebutuhan akan rasa aman dan tentram
Kebutuhan fisiologis dasar
Hirarki kebutuhan tersebut diatas dapat dijelaskan sebagai
berikut:
• Kebutuhan
fisiologis dasar: mencakup makanan,
pakaian, perumahan dan fasilitas-fasilitas dasar lainnya yang berguna untuk
kelangsungan hidup individu
• Kebutuhan
akan rasa aman: mencakup lingkungan yang bebas dari segala bentuk ancaman,
pekerjaan yang jelas, keamanan atas alat atau instrumen yang dipergunakan dalam
beraktivitas.
• Kebutuhan
untuk dicintai dan disayangi: mencakup interaksi dengan anggota keluarga atau
teman, kebebasan melakukan aktivitas
sosial, kesempatan yang diberikan untuk menjalin hubungan yang akrab dengan
orang lain
• Kebutuhan
untuk dihargai: mencakup pemberian penghargaan atau reward atas prestasi yang
dicapai, mengakui hasil karya individu, mendaptkan status sosial dalam
masyarakat
• Kebutuhan
aktualisasi diri: mencakup kesempatan dan kebebasan untuk merealisasikan
cita-cita atau harapan individu, kebebasan untuk mengembangkan bakat atau
talenta yang dimiliki.
Dari hirarki kebutuhan tersebut dapat terlihat bahwa
prioritas pemenuhan kebutuhan sangat ditentukan oleh tingkatan kebutuhan yang
ada. Artinya individu yang sudah terpenuhi kebutuhan fisiologis dasar secara
otomatis akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan di tingkat yang lebih tinggi
dan begitu seterusnya.
Pekerjaan
Seiring dengan adanya berbagai kebutuhan individu, maka alasan
individu untuk bekerja pun menjadi beragam mengikuti kebutuhan tersebut
sehingga pekerjaan memiliki makna tertentu bagi individu. Makna suatu pekerjaan
bukan lagi hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dasar tetapi juga
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya. Jika dilihat
dari sudut pandang psikologi, maka suatu pekerjaan memiliki beberapa makna
sebagai berikut:
1. Instrumen
(instrumental)
Dalam memahami bahwa bekerja adalah suatu alat atau
instrumen, maka dapat kita bagi menjadi dua bagian yaitu sebagai alat untuk
mendapatkan penghasilan dan sebagai alat untuk melakukan aktivitas. Bahwa
bekerja merupakan alat untuk memperoleh penghasilan mungkin tidak perlu saya
jelaskan lagi karena hal tersebut sudah merupakan hal yang umum dan sangat
terkait dengan kebutuhan fisiologis dasar.
Dalam hal bekerja merupakan instrumen untuk beraktivitas,
sangatlah jelas bagi kita bahwa dengan bekerja seseorang akan memiliki
serangkaian aktivitas yang pasti dan jelas. Dengan bekerja maka semua kegiatan
seolah-olah menjadi terprogram. Contoh: orang yang memiliki pekerjaan pasti
akan bangun tidur pada jam tertentu, mandi dan sarapan dalam waktu tertentu,
lalu berangkat kerja pada jam tertentu, bekerja dengan rentang waktu yang sudah
jelas, dan kemudian pulang ke rumahnya pada jam tertentu pula. Semua waktu
terlihat diisi dengan optimal dan bermanfaat, sehingga hampir tidak ada ruang
untuk meratapi kemalangan hidup atau hal-hal negatif dalam diri individu. Semua
itu membuat individu yang bekerja menjadi berbeda dengan individu yang tidak
memiliki pekerjaan. Dalam beberapa kasus aktivitas-aktivitas kerja sangat
dinikmati dan terasa begitu penting oleh si pekerja sehingga ia rela bekerja
(melakukan aktivitas kerja) mesti tidak mendapatkan gaji (bayaran). Dalam hal
ini aktivitas tersebutlah yang dianggap sebagai bayaran.
2. Kesenangan
(enjoyment)
Sejalan dengan aktivitas yang dilakukan sebagai konsekuensi
logis dari bekerja, maka tidak jarang individu menemukan berbagai kesenangan
dalam bekerja. Pada pekerjaan yang benar-benar sesuai dengan minat dan bakat
serta cita-citanya maka aktivitas kerja merupakan hiburan dan pendorong
semangat hidup. Dengan kesenangan yang
dimilikinya tersebut maka individu akan
dapat berfungsi secara optimal sehingga bermanfaat bagi perkembangan jiwanya
dan juga memudahkannya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya.
3. Pemenuhan
diri (self-fulfillment)
Setiap orang ingin mengaplikasikan semua talenta yang
dimiliki. Dengan bekerja maka individu memiliki kesempatan untuk
mengaplikasikan semua kemampuan yang dimilikinya atau dengan kata lain bekerja
memungkinkan seseorang untuk dapat mengaktualisasikan dirinya. Dengan bekerja
individu akan terus-menerus meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan
diri untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari. Lewat pekerjaan ia
menghasilkan suatu karya cipta dan akan memperoleh pengakuan atau hasil karya
tersebut. Dengan demikian maka ia akan semakin memiliki konsep diri yang
positif dan memiliki rasa percaya diri
yang tinggi.
4. Institusi
Sosial (social institution)
Tak dapat dipungkiri bahwa pekerjaan menciptakan suatu
institusi sosial. Dengan bekerja mau tidak mau individu terikat dalam suatu
institusi sosial yang memiliki aturan main tersendiri yang seringkali berbeda
antara institusi yang satu dengan yang lain.
Dengan bekerja maka relasi sosial akan terbuka lebar dan akan terjalin
hubungan interpersonal. Hubungan tersebut memungkinkan individu untuk bisa
berbagi pengalamanan, tukar-menukar informasi, bertanya, bahkan memperoleh
bimbingan dari orang lain, sehingga memperluas wawasan individu tersebut. Dalam
interaksi sosial dalam dunia kerja, sang individu mungkin akan menemukan teman
akrab bahkan mungkin juga teman hidup. Selain itu dengan bekerja individu
memiliki status sosial yang jelas dan diakui oleh masyarakat, sehingga ia
merasa diterima dan menjadi bagian masyarakat.
Dengan melihat makna suatu pekerjaan bagi individu dan
mengingat asas kesamaan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan dan kehidupan
yang layak, maka kita semua tentu dapat lebih memahami jika Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) penyandang cacat Indonesia mendesak kepada semua perusahaan yang
beroperasi di Indonesia untuk melaksanakan kewajiban kuota tenaga kerja
penyandang cacat seperti disebutkan di atas. Pentingnya suatu pekerjaan bagi
individu juga tidak memandang apakah seorang penyandang cacat berasal dari
keluarga yang mampu atau keluarga tidak mampu, mengingat bahwa bekerja justru
memiliki makna yang jauh lebih mendalam dari sekedar masalah finansial.
Kesiapan dan Kemampuan
Untuk dapat bersaing dengan para pekerja tidak cacat maka
para penyandang cacat tentu harus mempersiapkan segala hal untuk dapat
menampilkan potensi yang dimilikinya. Hal tersebut harus dilakukan mengingat
bahwa keberhasilan seseorang dalam mendapatkan pekerjaan akan sangat ditentukan
oleh kemampuan yang bersangkutan dalam meyakinkan si pemberi pekerjaan
(perusahaan) bahwa dialah yang terbaik untuk mengisi jabatan yang tersedia. Hal
inipun berlaku untuk semua pencari kerja, termasuk penyandang cacat. Oleh sebab
itu penyandang cacat yang mau bekerja harus mempersiapkan hal-hal sebagai
berikut:
• Tingkatkan
pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan anda melalui pelatihan-pelatihan atau
pun kursus-kursus yang sesuai.
• Aktif
mencari lowongan pekerjaan yang sesuai. Gunakan berbagai jalur dan teknik
mencari pekerjaan, misalnya lewat institusi penyandang cacat, relasi, media
massa, dll.
• Cari tahu
dan kenali perusahaan-perusahaan yang berpotensi mempekerjakan para penyandang
cacat.
• Manfaatkan
teknologi secara maksimal untuk membantu anda. Satu hal yang sangat membantu
saat ini adalah adanya komputer. Dengan keahlian menggunakan komputer maka akan
terbuka banyak peluang bagi penyandang cacat untuk bersaing bahkan bisa menjadi
lebih ahli dibandingkan orang yang tidak cacat.
• Jika
dipanggil wawancara kerja maka buatlah wawancara tersebut menjadi mudah bagi
interviewer (perusahaan) denganmemberitahukan hal-hal apa saja yang harus
mereka siapkan untuk anda.
• Berpakaianlah
secara pantas sesuai dengan jabatan atau pekerjaan yang dilamar.
• Bawalah
surat lamaran beserta resume dan bahkan contoh hasil karya yang telah anda buat
(jika ada) pada saat wawancara.
• Antisipasi
sikap-sikap negatif terhadap anda. Seperti yang telah disebutkan di atas, maka
tidak dapat diingkari bahwa masih ada orang yang memiliki prasangka buruk atau
menganggap remeh para penyandang cacat. Menghadapi hal tersebut maka anda harus
mempersiapkan mental secara baik sehingga tidak terpancing atau menjadi
emosional menanggapi hal tersebut. Fokuskan diri anda hanya pada hal-hal yang
berhubungan dengan pekerjaan. Dengan cara ini perusahaan akan lebih dapat
mengenali potensi anda.
Atasi pertanyaan-pertanyaan yang "memojokkan"
secara elegan. Dalam wawancara kerja tidak tertutup kemungkinan bahwa si
interviewer akan bertanya sampai ke hal-hal yang bersifat pribadi. Contoh:
berapa kali dalam sebulan anda harus ke dokter? (maksudnya: mungkin jika sering
ke dokter maka jika itu menjadi tanggungan perusahaan tentu akan berat selain
itu pekerja pasti akan sering absen). Jika pertanyaan semacam ini diajukan pada
anda yang kebetulan penyandang cacat maka pahami terlebih dahulu maksud
pertanyaan tersebut dan kemudian jawablah pertanyaan tersebut sejujurnya dan
tambahkan dengan kata-kata: "Pak/Bu, saya menjamin bahwa tidak ada hal-hal
dalam kehidupan pribadi saya yang akan dapat mengganggu saya dalam mengerjakan
tugas-tugas yang diberikan perusahaan".
Mengingat bahwa para penyandang cacat tidak dapat
mempersiapkan diri sendiri tanpa dukungan dari pemerintah dan
perusahaan/institusi penyedia lapangan kerja maka sangat perlu kiranya kedua
pihak tersebut memberikan dukungan yang maksimal. Bagi pemerintah dukungan
untuk memberdayakan para penyandang cacat melalui pelatihan-pelatihan atau pun
kursus-kursus amat sangat dibutuhkan. Oleh karena itu pemerintah diharapkan
menyediakan dana dan sarana yang memadai.
Bagi perusahaan, melalui artikel ini penulis ingin mengetuk
hati para pembuat keputusan atau pemegang kebijakan di perusahaan untuk bisa
memberikan kesempatan kepada para penyandang untuk dapat bekerja sesuai dengan
kualifikasi yang ada. Jangan merekrut
pekerja penyandang cacat berdasarkan rasa belas kasihan dan tanpa
prosedur yang semestinya, tetapi hendaklah dilakukan sesuai dengan prosedur
rekrutmen dan seleksi yang semestinya sehingga hak-hak dan kewajiban antara
perusahaan dan pekerja (penyandang cacat) menjadi terjamin. Selain itu bagi
perusahaan yang terpaksa harus menerima kenyataan bahwa ada pekerjanya yang
mengalami kecelakaan kerja dan berakhir dengan cacat, maka perlakukan mereka
dengan sepantasnya sesuai dengan jasa dan pengabdian yang telah mereka berikan.
Dalam kasus seperti ini hendaknya perusahaan tidak serta merta melakukan PHK
dan menggantikan kedudukan pekerja tersebut dengan orang lain yang tidak cacat.
Selamat membaca dan semoga berguna.
Keunggulan dan kelemahan buku:
Dengan MSDM, pihak manajemen perusahan akan dapat
mengarahkan karyawan secara benar sehingga potensinya berkembang. Lebih lanjut
tujuan organisasi/perusahaan akan lebih mudah tercapai. Jadi, tidak ada
salahnya bagi praktisi ekonomi atau pihak manajemen mengoleksi buku ini. Adapun
bagi para mahasiswa ekonomi, buku ini dapat menjadi sumber acuan untuk memahami
konsep MSDM secara mudah dan terstruktur. Dalam buku ini, pengarang mencoba
membahas masalah MSDM secara mudah sistematis. Pendekatan, kejelian, dan
pengalaman pengarang menjadikan buku ini mencakup hampir semua hal yang
elementer tentang MSDM.
Namun, buku ini agak sedikit kurang dipahami karena terlalu
banyaknya sub-sub judul yang menjadi penjelasan terhadap pokok bahasannya.
Sehingga dalam pemahamannya ditemukan
berbagai kesulitan. Kemampuan penulis dalam menjabarkan contoh tidak begitu
menekankan kepada inti permasalahannya, sehingga diperlukan analisis dan
pemahaman yang mendalam.
Saran:
Sebaiknya buku ini disusun lebih sistematis lagi, agar mudah
dipahami bagi para kalangan pelajar atau mahasiswa yang membacanya. Bahasa yang
digunakannya sangat intelektual sekali, sebaiknya menggunakan bahasa yang lebih
dimengerti. Tetapi untuk kalangan masyarakat umum buku ini perlu menjadi
pegangan dalam memenej suatu organisasi, komunitas, bahkan suatu kelompok.
Kajian pembahasannya pun perlu dipertimbangkan agar mampu menyaring inti dari
permasalahannya.
MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
Book Report
Tugas ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah MSDM
Disusun oleh
Yuniar Muzdalipah
0700801
Program Studi Pendidikan Manajemen Perkantoran
Jurusan Pendidikan Ekonomi
Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2007-2008
No comments:
Post a Comment